Minggu, 12 Februari 2012

Kebijakan Perdagangan Internasional

Kebijakan adalah suatu kecermatan, ketelitian, dan langkah yang di ambil untuk mengatasi suatu masalah. Kebijakan diambil berdasarkan fakta-fakta dan pengalaman masa lalu. Berdasarkan pengertian kebijakan tersebut, kebijakan perdagangan internasional adalah rangkaian tindakan yang akan diambil untuk mengatasi kesulitan atau masalah hubungan perdagangan internasional guna melindungi kepentingan nasional.
Jenis-jenis kebijakan dapat diberlakukan untuk impor dan ekspor yaitu ;
a. Kebijakan perdagangan internasional di bidang impor
Ada beberapa keburukan mengimpor suatu barang. Salah satunya adalah perusahaan dalam negeri yang memproduksi jenis barang yang sama akan gulung tikar karena kalah bersaing dengan barang impor. Untuk itulah, pemerintah harus melindungi atau bertindak untuk mengatasi keburukan itu dengan jalan memberi perlindungan (proteksi). Perlindungan itu banyak jenisnya, yaitu :
(1) Kuota merupakan jumlah yang ditetapkan untuk suatu kegiatan dalam satu masa atau suatu waktu tertentu. Jadi, kuota dalam impor adalah total
jumlah barang yang dapat diimpor dalam masa tertentu. Ketika
diberlakukan perdagangan bebas, kuota tidak dapat dipakai lagi karena
dapat menghambat perdagangan internasional.
(2) Tarif. Kebijakan tarif diambil pemerintah dengan menetapkan tarif tinggi untuk mengimpor suatu jenis barang. Dengan pengenaan tarif ini, harga barang impor menjadi mahal, sehingga barang sejenis yang diproduksi di dalam negeri akan memiliki daya saing dan dibeli konsumen. Penganut perdagangan bebas mengenakan tarif yang rendah atas barang-barang impor. Sebaliknya, begara proteksionis mengenakan tarif yang tinggi untuk
barang impor.
(3) Subsidi. Karena ada perbedaan harga antara barang impor dan barang dalam negeri, ada kemungkinan harga brang impor lebih murah daripada
harga barang produksi dalam negeri. Supaya harga barang produksi dalam
negeri dapat ditekan, pemerintah dapat memberi subsidi pada produsen
dalam negeri. Dengan pemberian subsidi ini, harga barang dalam negeri
menjadi murah.
(4) Larangan impor. Dengan berbagai alasan, ada barang tertentu yang dilarang diimpor. Misalnya, barang-barang yang berbahaya untuk
masyarakat. Larangan impor bisa jadi dilakukan untuk membalas tindakan
negara lain yang telah lebih dulu melarang impor barang suatu negara.
Selain itu, larangan impor dapat pula dilakukan untuk menghemat devisa.


b. Kebijakan perdagangan internasional di bidang ekspor
Sama halnya dengan kebijakan perdagangan internasional di bidang impor, kebijakan di bidang ekspor juga ditujukan untuk melindungi produksi dalam negeri disamping memperoleh keuntungan. Beberapa kebijakan perdagangan internasional di bidang ekspor, yaitu :
(1) Diskriminasi harga, adalah suatu tindakan dalam penetapan harga barang
yang berbeda untuk suatu negara dengan negara lainnya. Untuk barang
yang sama, harga untuk negara yang satu lebih mahal atau lebih murah
daripada negara lainnya. Hal ini dilakukan atas dasar perjanjian atau dalam
rangka perang aktif.
(2) Pemberian premi (subsidi). Kebijakan pemerintah untuk memajukan ekspor
adalah dengan memberi premi kepada badan usaha yang melakukan
ekspor. Pemberian premi (subsidi) itu antara lain berupa bantuan biaya
produksi serta pembebasan pajak dan fasilitas lain, dengan tujuan agar
barang ekspor memiliki daya saing di luar negeri.
(3) Dumping adalah kebijakan yang diambil oleh pemerintah dengan
menetapkan barang ekspor (harga baranag diluar negeri) lebih murah
daripada harga didalam negeri. Cara ini hanya dapt dilakukan bila pasar
dalam negeri dikendalikan atau dikontrol oleh pemerintah.
(4) Politik dagang bebas merupakan suatu kebijakan dimana masing-masing
pemerintah memberi kebebasan daam ekspor dan impor.
(5) Larangan ekspor merupakan kebijakan atas suatu negara untuk melarang
ekspor barang barang-barang tertentu ke luar negeri. Penyebabnya bisa
karena alasan ekonomi, politik, sosial dan budaya.

Rabu, 01 Februari 2012

Tugas Manajemen Strategik (Suyanto,SE) ke-7


BALANCED SCORECARD KONSEP DAN IMPLEMENTASI:

SEBAGAI STRATEGI PERUSAHAAN

Abstract.

BSC menjadi demikian populer karena lebih dari sekedar pengukur kinerja, melainkan sebagai strategi korporasi. Keunggulannya dibanding dengan konsep pengukuran lain adalah keterkaitan antara empat persfektif BSC itu sendiri. Dengan menggunakan data sekunder terkini, kajian dilakukan untuk menjelaskan bagaimana pengalaman korporasi menggunakan BSC sehingga mampu memberikan manfaat lebih dari ukuran kinerja lainnya. Bahkan, BSC oleh berbagai akademisi diintegrasikan terhadap konsep lain untuk memperoleh alat yang sinergi dalam pengembangan korporasi.

1. Pendahuluan

Dalam kajian manajemen strategik, pengukuran hasil (performace) memegang peran sangat penting, karena ini tidak saja berkaitan dengan penentuan keberhasilan akan tetapi menjadi ukuran apakah strategi berhasil atau tidak. Artinya hasil akan dijadikan ukuran apakah strategi berjalan baik atau tidak; bila organisasi tidak dapat mencapai hasil maka diagnosa pertama menunjukkan bahwa strategi tidak berjalan. Dalam ukuran yang dinilai tradisionil, Whelen (2006) menunjukkan bahwa ROI (Return Investment) mengandung berbagai kelemahan. Kelemahan ini bagaimanapun memaksa praktisi memikirkan ukuran yang lebih komprehensif yang dapat digunakan. Di Amerika, misalnya, dikenal Malcolm Baldrige National Quality yang setiap tahunnya memberikan penghargaan melalui acara yang sangat bergengsi. Bagaimanapun program seperti di atas berpengaruh terhadap kinerja bisnis. Sejumlah korporasi turut serta dalam penilaian dan hasil penilaian tim independen dengan menggunakan prinsip Malcom Baldrige National Quality dimana hasilnya tiap tahun diumumkan. Sepanjang ini program ini diyakini telah meningkatkan daya saing bisnis Amerika di pasar global, karena program ini telah meningkatkan kualitas bisnis. Adapun perspektif bisnis yang dikembangkan dalam program ini adalah :

1) Fokus kepada hasil pelanggan,

2) Hasil barang dan jasa

3) Hasil keuangan dan pasar

4) Hasil sumberdaya manusia

5) Ketertarikan hasil organisasi, termasuk pengukuran kinerja perusahaan

6) Tatakelola dan tanggungjawab sosial.

Dari 6 fokus yang ada di atas, selanjutnya Program ini mendeskripsikan 11 komponen yang harus ditunjukkan agar perusahaan dapat memberikan nilai.

Sama halnya dengan itu, di Indonesia dikenal satu ukuran Program Proper yang dikembangkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup. Ukuran ini pada dasarnya fokus kepada evaluasi aktivitas nyata perusahaan dalam menerapkan manajemen lingkungan. Setiap tahun perusahaan yang tergabung dalam program dievaluasi dan diberi peringkat mulai dari emas, hijau, biru, merah dan hitam. Masing-masing kriteria ini terkait dengan penerapan manajemen lingkungan. Adapun publikasi dari Proper menunjukkan seberapa pedulli satu perusahaan terhadap penerapan manajemen lingkungan. Kriteria penerapan manajemen lingkungan ternyata menjadi isu sentral dalam pengembangan bisnis modern sehingga harus dinyatakan menjadi satu ukuran (Anonim, 2005).

Bagaimanapun bisnis ataupun organisasi semakin berkembang maju, pesat sehingga ukuran ROI dinilai tidak saja tidak cukup akan tetapi dinilai tidak menggambarkan kondisi riil dan masa depan yang memadai sebagai satu ukuran dari perusahaan yang menggunakannya. Adapun Kaplan dan Norton (1992) mempublikasikan pertama kali tentang Balance scorecard (BSC) yang kemudian berkembang pesat, dan sampai akhir ini Kaplan telah melembagakan BSC dan mempublikasikan hasil pengamatannya setiap tahun. Berbagai publikasi Kaplan dan Norton yang berkaitan dengan BSC pada dasarnya dimaksudkan untuk membangun pemahaman dan pengalaman penggunaan BSC. Publikasi ini seperti yang berkaitan dengan Alligment (2004), Strategy (1996), Strategy Maps (2006) dan sebagai bagian daripada Strategic Management (2007). Adapun upaya yang dilakukan mereka semakin meyakinkan bahwa keberadaan daripada BSC lebih daripada sekedar alat ukur, namun menjadi bagian daripada strategi.

Dengan melakukan penelusuran terhadap publikasi terkait, diharapkan bahwa benang merah, praktek, dan kemajuan terkini terkait dengan BSC dapat dijadikan pembelajaran baik secara akademis maupun praktis.

2. Tujuan

2.1. Menjelaskan perkembangan konsep BSC sebagai bagian daripada strategi perusahaan

2.2. Menjelaskan kaitan antara BSC dan Strategi dalam perusahaan sehingga ada jaminan bahwa BSC dapat berjalan dengan baik.

2.3. Menjelaskan berbagai pengalaman dan pembelajaran perusahaan dalam menerapkan BSC sebagai bagian daripada strategi.

3. Diskusi

3.1. Pentingnya alat Ukur

Bisnis dipahami sebagai satu sistem, dimana hasil yang diperoleh adalah sebagai hasil daripada tindakan perusahaan secara terencana. Dalam bisnis diakui adanya “cause and effect relations”, hasil yang diperoleh adalah akibat dari tindakan perusahaan. Memang harus diakui akan adanya konsep win fall yang menunjukkan satu perusahaan mendapat keuntungan di luar strategi yang dirancang oleh perusahaan itu sendiri. Sesuai dengan itu, dalam model pengajaran bisnis yang modern, salah satu tahapan yang dikenal adalah “pengukuran hasil”. ROI menjadi alat ukur hasil sangat “disukai” karena dinilai sederhana dan mudah diterapkan. Walau sesungguhnya ROI mempunyai kelemahan karena sangat dipengaruhi oleh; 1) kebijakan penyusutan, 2) sensitif terhadap nilai buku, 3) praktek transfer pricing, 4) perhatian sering fokus kepada jangka pendek, 5) tidak bisa dibandingkan antar perusahaan yang berbeda, 6) sangat dipengaruhi oleh keadaan perekonomian secara umum, dan 7) dipengaruhi oleh pengelolaan persediaan (LIFO dan FIFO).

Kelemahan demikian memaksa pada praktisi bisnis dan akademisi untuk memformulasi ukuran yang dapat digunakan akan tetapi sekaligus dapat memenuhi tuntutan. Dalam kaitan ini patut digarisbawahi misalnya Total Quality Management yang menekankan adanya komitmen terhadap perbaikan mutu. Mutu dalam kaitan ini diakui sebagai jiwa daripada perusahaan, perusahaan yang tidak mempunyai mutu bagaimanapun akan runtuh. Oleh karena itu, disamping memperoleh keuntungan (ROI tinggi) perusahaan juga diharapkan untuk menerapkan prinsip perbaikan mutu. Seluruh unit perusahaan ataupun organisasi diharuskan dapat menerapkan perbaikan mutu.

Salah satu kebutuhan terhadap alat ukur adalah dibutuhkannya alat ukur yang komprehensif, yang tidak harus mempertentangkan satu perspektif terhadap perspektif lain. Misalnya, orientasi terhadap pelanggan akan mengakibatkan perhatian terhadap penerimaan. Hal demikian harus dicatat, karena berbagai aliran dalam manajemen seperti Total Quality, Pendekatan Team, dll sebelum muncul BSC dimaksudkan sebagai alat ukur. Artinya alat ukur menjadi kebutuhan bukan saja sebagai alat evaluasi, akan tetapi sebagai bagian dari strategi. Apa yang dikatakan Kaplan dan norton (1992) “What you measure is you get” adalah pertanda bahwa apa yang dijadikan alat ukur bisnis itupula yang akan dicapai. Kalau demikian, maka strategi mempunyai posisi strategis untuk mencapai ukuran. Adapun ukuran yang hendak dicapai haruslah memenuhi kriteria berikut.

a) mewakili visi misi organisasi

b) menajawab kebutuhan pemangku kepentingan, oleh karena itu harus flesibel.

c) dapat terukur dengan baik tanpa membutuhkan waktu yang lama

d) menjawab kebutuhan perusahaan di tengah-tengah industri.

Adapun pentingnya alat ukur semata-mata tidak hanya dimaksudkan untuk mengukur kinerja, akan tetapi memastikan BSC organisasi menggunakan strategi yang tepat. Sehingga, apa yang disebut oleh Kaplan bahwa kinerja akan menentukan strategi yang digunakan benar adanya. Pengalaman FMC Corporation menggunakan BSC dapat dicatat sebagai solusi dalam menggunakan BSC. FMC Corporation adalah perusahaan dengan jumlah produk lebih dari 300 jenis, dengan adanya fenomena konflik antar devisi. Perusahaan dengan devisi yang intensif mengambil inisiasi malah dihadapkan kepada permasalahan. Slogan untuk berbagai inisasi malah membuat pusing dan tanda-tanda yang beragam. Apa yang dicatat Kaplan tentang perusahaan ini adalah bahwa dengan penerapan BSC tidak lagi didapat kebingiunan antara devisi, akan tetapi masing-masing devisi menggunakan inisiasi untuk mencapai sasaran atau kinerja yang telah ditentukan. Bagi perusahaan ini perumusan kinerja dan target telah berubah menjadi strategi yang haru diterapkan oleh perusahaan secara integratif. Artinya, penerapan BSC berubah menjadi bagian dari strategi organisasi. Sehingga disimpulkan dampak daripada penerapan BSC adalah adanya perubahan dalam sistem manajemen secara keseluruhan.

3.2. Mengenal Konsep Balance Scorecard

Adalah Kaplan dan Norton dalam makalahnya yang menggagas pentingnya konsep BSC. Anonim (2005) mendefinisikan BSC sebagai sistem manajemen strategi dan pengukuran yang menghubungakan sasaran strategis kepada indikator yang komprehensif. Untuk itu diperjelas juga bahwa indikator yang digunakan harus merupakan kegiatan dan proses kegiatan inti lingkungan organisasi beroperasi.

Ucapannya yang mengatakan “What you measure is what you get” menjadi premis dalam penyusunan ukuran hasil yang diharapkan. Dalam studi yang dilaksanakan oleh Kaplan dan Norton (1992) terhadap 12 korporasi, didapat sebenarnya bahwa korporasi tersebut telah mengadopsi scorecard. Kapalan dan Norton melihat ada kelemahan kepada pengukuran kinerja yang dapat menonjolkan pencapaian tujuan secara terpisah, bahkan cenderung kompetitif yang pada akhirnya mengakibatkan konflik korporasi. Oleh karena itu dibutuhkan alasan untuk menggunakan konsep scorecard karena: 1) scorecard menyatukan alat dalam laporan manajemen yang utuh, kelemahan pandangan terhadap berbagai bidang yang dinilai bersaing: menjadi perusahaan yang berorientasi kepada pelanggan, memperpendek waktu menanggapi, memperbaiki kualitas terhadap team, mengurangi waktu meluncurkan produk, dan mengelola untuk jangka waktu panjang; 2) scorecard menjadi pedoman untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan. Sejak 1992, konsep ini terus dikembangkan tidak saja oleh Kaplan dan Norton bahkan oleh penulis lain. Demikian juga dengan bidang yang mengadopsi BSC, semakin lama semakin banyak. Karathonous, D., and P. Karathonous (2005), meggunakan BSC untuk pendidikan, Kocakulah, M.C dan Austill, A.D.( 2007) di bidang Kesehatan.

Dalam bidang pendidikan perlu dicatat studi yang dilaporkan oleh Beard (2009) yang mengidentifikasi penerapan BSC kepada dua sekolah yang menerima penghargaan dari Malcolm Baldrige National Quality Award Program menyimpulkan bahwa perusahaan penerima penghargaan lebih memperoleh alasan yang sesuai dengan visi dan misi organisasi setelah menerapkan BSC. Penghargaan Malcolm lebih fokus kepada keberhasilan mencapai 11 sasaran, akan tetapi penerapan BSC memberikan posisi yang lebih jelas bagi perusahaan. Karena penerapan BSC dapat menjelaskan konsistensi capaian dengan visi-misi organisasi dan nilai inti serta perbaikan yang dilaksanakan oleh organisasi. Sifat BSC kemudian yang menekankan kepada sistem manajemen tidak hanya memampukan organisasi tapi juga membantu perusahaan mengklarifikasi visi dan menterjemahkannya kepada sasaran yang operasional, ukuran dan tindakan yang jelas dan sesuai dengan misi dan nilai inti organisasi.

Mutasowifin (2002), Purwanto, A.T (2003) masing-masingnya menggagas penerapan BSC pada koperasi dan pengelolaan sumberdaya alam. Artinya, karena dinilai bahwa konsep ini baik maka banyak organisasi mengadopsinya. Apapun terjemahannya di dalam Bahasa Indonesia, ide utama BSC adalah adanya satu Papan Nilai yang seimbang yang dapat digunakan sebagai alat ukur mementnukan apakah satu organisasi dinilai berhasil atau tidak. Dari definisi tersebut pengertian sederhana dari Balanced Scorecard adalah kartu nilai yang digunakan untuk mengukur kinerja dengan memperhatikan keseimbangan antara sisi keuangan dan non keuangan, antara jangka pendek dan jangka panjang serta melibatkan faktor internal dan eksternal. Konsep ini lahir dari hasil pengamatan oleh penulis yang memberikan satu jawaban bahwa perusahaan yang berhasil didasarkan kepada keseimbangan 4 hal yaitu: keuangan, customer, proses bisnis/intern, dan pembelajaran-pertumbuhan. Dari pandangan akademis, Kaplan dan Norton bersama dengan sejumlah perusahaan melakukan eksperimen. Dari awal tahun ditetapkan pengamatan terhadap keberhasilan ataupun kinerja perusahaan, sampai diputuskan bahwa 4 perspektif itu memang dapat dijadikan ukuran keberhasilan perusahaan. Sampai sekarang, Kaplan dan Norton memiliki proyek bersama dengan sejumlah perusahaan untuk menentukan cara bagaimana perusahaan agar berhasil. Berdasarkan konsep balanced scorecard ini kinerja keuangan sebenarnya merupakan akibat atau hasil dari kinerja non keuangan (customer, proses bisnis, dan pembelajaran). Pekerjaan penulis ini tidak saja dalam rumusan seperti itu, akan tetapi sampai kepada upaya memasukkan sekumpulan perusahaan. Sampai sekarang pekerjaan ini masih berjalan, sehingga muncul perusahaan ataupun konsultan yang membuat program kepada sekumpulan perusahaan untuk mengikuti programnya. Dari hasil pengamatan diakui bahwa perusahaan–perusahaan yang berada di dalamnya mengalami kemajuan karena setiap pengmbilan kebijakan tetap mempertimbangkan perspektif tersebut.

Perkembangan implementasi BSC semakin lama semakin marak, karena kemudian dilanjuti dengan bagaimana kemajuan misalnya seperti penentuan pengupahan dengan sistem BSC. Bahkan para pengguna BSC menyiapkan perangkat lunak (Software) untuk menentukan bagaimana satu bisnis dapat berhasil.

Dari perkembangan awal dapat digarisbawahi bahwa peran BSC adalah sebagai alat ukur hasil, dimaksudkan untuk evaluasi, jauh dari posisi strategis. Akan tetapi dari seri buku-buku dan riset yang ditawarkan oleh Kaplan dan Norton akhirnya diakui bahwa permasalahan BSC bukan pada level evaluasi semata, akan tetapi harus dimulai dari penyusunan strategi. Karena dalam series buku dan eksperimen yang dikeluarkan oleh Kaplan dan Norton, permasalahan BSC harus menjadi kesepakatan (komitmen) manajemen puncak sejak dari awal.

BSC menjadi populer di kalangan praktisi dan akademisi di bidang pengukuran hasil dan penuntasan masalah strategi. Pandey (2005) menjelaskan berbagai alasan mengapa BSC digunakan dalam organisasi.

1) BSC adalah alat komprehensif untuk memahami pelanggan dan kebutuhannya, dan kesenjangan kinerja.

2) BSC menyiapkan logika untuk menciptakan modal intangible dan inlektual dimana dengan pengukuran tradisional dalam sistem kinerja sulit dilakukan.

3) BSC mampu mengartikulasi strategi pertumbuhan menjadi keandalan bisnis yang fokus kepada upaya-upaya non finansial.

4) BSC memampukan karyawan memahami strategi dan kaitan sasaran ke dalam operasi perusahaan hari ke hari.

5) BSC memafsilitasi umpan balik riviu kinerja dari waktu ke waktu.

Bagaimana balanced scorecard ditinjau dari sistem manajemen strategik perusahaan? Di dalam sistem manajemen strategik (strategic management system), ada 2 tahapan penting, yaitu tahapan perencanaan dan implementasi. Posisi balanced scorecard awalnya berada pada tahap implementasi. Fungsi balanced scorecard di sini hanya sebagai alat ukur kinerja secara komprehensif kepada para eksekutif dan memberikan feedback tentang kinerja manajemen.

Dampak dari keberhasilan penerapan balanced scorecard memicu para eksekutif untuk menggunakan balanced scorecard pada tahapan perencanaan strategik. Mulai saat itu, balanced scorecard tidak lagi digunakan sebagai alat pengukur kinerja namun berkembang menjadi strategik management sistem.

3.3. Balanced Scorecard adalah strategi

Strategi korporasi diturunkan dan Visi dan Misi. Demikian penting peran strategi, sehingga kalau tujuan korporasi tidak tercapai, maka yang salah adalah strategi. Whelen (2006) menjelaskan berbagai hal penyebab kegagalan penerapan strategi yaitu: 1) komunikasi yang sulit antar staf, 2) komitemen manajemen operasional lemah, 3) gagal menerima umpan balik dan mekanismenya, 4) basis perencanaan tidak valid, formulasi strategi tidak valid, 5) perencanaan fungsional tidak konsisten, dan 6) penilaian sumberdaya tidak konsisten.

Dalam penerapan BSC, ada premis yang secara implisit didapat yaitu bahwa BSC adalah strategi. Memperhatikan BSC sebagai pengukuran kinerja mungkin itu adalah hal yang paling mudah diketahui, karena masing-masing perspektif yang kemudian diturunkan mnejadi sasaran fungsinya adalah pengukuran kinerja. Akan tetapi, bila diperhatikan bagaimana hubungan antara visi, misi dan strategi sebagai awal daripada penetapan perspektif, dapat terlihat bahwa kaitan masing-masing perspektif dengan strategi sangat kuat. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 1. berikut.



Kaplan dan Norton (1992) menjelaskan bahwa The balanced scorecard puts strategy – not control – at the center. Maknanya adalah bahwa esensi penerapan BSC bukanlah adanya pengendalian terhadap devisi, akan tetapi setiap devisi satu korporasi sedemikian rupa akan berinisiasi, menentukan ukuran kinerja dan mengkaitkannya dengan visi, misi dan strategi korporasi. Dalam hal ini keunggulan BSC adalah teridentifikasinya struktur ataupun kerangka yang ada di korporasi guna mencapai – merealisasikan visi dan misi korporasi. Penjelasan demikian menegaskan bahwa sebelum BSC dikenalkan telah banyak dikenal berbagai program pengukuran yang mengarah kepada perbaikan: integrasi antar fungsi, skala global, perbaikan terus-menerus, tanggung jawab team yang menggantikan peran individu. Kaplan sendiri menuliskan bahwa penerapan BSC sejalan dengan prinsip semua itu. Akan tetapi yang membedakan BSC dengan berbagai konsep tersebut adalah bahwa pada BSC manajer memahami, setidaknya secara implisit kaitan antar fungsi. Lebih dari penjelasan itu, BSC juga mengarahkan manajer ke depan daripada melihat ke belakang. Hal ini mudah dipahami karena 4 perspektif: keuangan, pelanggan, proses bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan yang oleh Kaplan digambarkan sebagai perspektif yang berkaitan satu dengan lainnya. Bahkan dirangkum dalam satu hubungan “cause and effect relationship”. Adapun kaitan masing-masing perspektif dapat dijelaskan sebagai berikut

1) Perspektif pelanggan. Perspektif ini menunjukkan seperti apa perusahaan di mata pelanggan. Pelanggan mempunyai kemampuan teknis melihat korporasi dari berbagai sisi: waktu, kualitas, kinerja dan jasa, dan biaya yang dikeluarkan oleh pelanggan untuk memperoleh pelayanan. Dimensi kebutuhan pelanggan demikian pada akhirnya akan menentukan bagaimana perusahaan dilihat oleh pelanggan. Semakin baik persepsi pelanggan, semakin baik pula nilai korporasi dimata pelanggan.

2) Perspektif keuangan. Pertanyaan yang harus dijawab korporasi di sini adalah bagaimana kita dilihat oleh pemegang saham baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Korporasi bisa rugi pada waktu tertentu, akan tetapi pemegang saham menyadari bahwa setelah itu korporasi akan mendapat keuntungan, sehingga dividen akan diperoleh. Semakin baik korporasi dimata pemegang saham, semakin aman korporasi memperoleh sumber modal.

3) Perspektif proses bisnis internal. Ukuran ini menunjukkan dalam proses produksi seperti apa korporasi lebih baik. Orientasi kepada pelanggan memang mutlak, akan tetapi permasalahan bagi manajemen adalah bagaimana caranya menyiapkan kompetensi yang dapat memenuhi kebutuhan pelanggan

4) Perspektif pembelajar dan pertumbuhan. Perspektif ini menunjukkan bagaimana korporasi dapat bertahan dan kmampu berubah sesuai dengan tuntutan eksternal.

Perhatikan dengan baik bahwa scorecard (papan nilai) diturunkan dari visi dan strategi. Hal ini menjadi kunci yang secara implisit mengingatkan bahwa perusahaan sesungguhnya digerakkan oleh visi dan misi. Bilamana visi dan misi dinyatakan dengan baik maka ini akan menjadi “mesin” penggerak semua kegiatan.

Visi dan misi yang terformulasi oleh Kaplan dinyatakan dengan 4 perspektif seperti di atas. Menurut Kaplan, terjemahan visi untuk masing-masing perspektif di atas haruslah diuji dengan masing-masing kriteria yaitu: 1) sasaran, 2) ukuran, 3) sasaran, dan 4) inisiatif. Keempat perspektif ini mempunyai ciri sebagai berikut. Penterjemahan visi dan misi ke dalam 4 perspektif di atas menunjukkan adanya satu siklus: keuntungan perusahaan hanya dapat tumbuh bilamana perusahaan mempunyai posisi di benak pelanggan (share value), sementara posisi di benak pelanggan hanya mungkin bila perusahaan mempunyai proses belajar. Satu hal yang sangat nyata dari hubungan yang ditunjukkan oleh Kaplan adalah bahwa satu dengan lainnya saling berhubungan. Dalam bukunya yang terakhir (Strategy Map) Kaplan menunjukkan berbagai cara empiris. Selanjutnya Kaplan secara jitu menjelaskan bagaimana pentingnya intangible asset sebagai rangkaian pencapaian tujuan. Dari ke empat perspektif sebagaimana dikemukakan di atas, Kaplan (1992) juga menjelaskan bahwa posisi persfektif seperti diatas berorientasi ke depan, bukan ke belakang. Hal ini terlihat dalam penentuan sasaran yang diimplementasikan melalui perumusan inisiasi yang akan digunakan.

Dari hasil pengalaman korporasi yang menggunakan BSC diketahui bahwa BSC banyak memberikan manfaat dibanding dengan pengukuran kinejra yang lain. Frigo (2002) melaporkan korporasi yang menggunakan BSC seperti ABB Sitzerland, AT&T Canada, Chemical Bank, Hilton Hotels, Sears, UPD, Wells Fargo Online Fiancial Service, dan Wendy’s International menunjukkan keunggulan BSC menunjukkan satu hirarkis maupun kerangka yang dapat dijadikan pedoman yang dapat diterima oleh semua devisi. Selanjutnya dari hasil survey IMA yang dilaporkan oleh Frigo (2002) bahwa manfaat manfaat penerapan BSC dapat diterima dalam hal: 1) pengguna BSC dapat mendukung strategi korporasi lebih baik, 2) hubungan yang kuat dalam pengukuran kinerja, 3) penggunaan alat ukur baru, 4) kaitan yang kuat antara indikator kinerja dengan kinerja perusahaan karena adanya komunikasi strategi kepada staf dan karyawan.

Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Hendrik (2004) dalam pemanfaatan BSC yaitu: 1) Pemahaman baik manajemen yang baik dari hubungan keputusan strategik dan tindakan dan strategi yang dipilih; 2) Pendefinisian ulang hubungan dengan pelanggan; 3) Rekayasa mendasar dari proses bisnis; dan 4) Munculnya kultur korperasi yang menekankan kepada upaya tim diantara fungsi organisasi menerapkan strategi perusahaan

Apanya yang sulit?

Konsep dan langkah yang ditempuh oleh Kaplan sangat dikenal dalam pengukuran kinerja perusahaan, karena dinilai dapat menyelesaikan kelemahan konsep pengukuran tradisional yang dicirikan oleh pengukuran tunggal dan terpisah satu dengan lainnya. Namun dari berbagai pengalaman berbagai peneliti menunjukkan kesulitan dalam hal operasional, menterjemahkan konsep perspektif yang tentunya berbeda antara satu perusahaan terhadap perusahaan yang berbeda. Kesulitan ini berkaitan dengan dibutuhkannya kemampuan teknis untuk menyusun ataupun menterjemahkan konsep menjadi bagian yang operasional. Menjadi bagaimana yang operasional artinya mempertimbangkan: kebutuhannya terhadap organisasi dalam rangka menopang pencapaian tujuan, terlaksana dan dapat diukur. Tidak heran sebelum menerapkan ini dibutuhkan satu pelatihan yang dimaksudkan agar pemahaman pihak internal memadai menerapkan konsep menjadi sesuatu yang operasional.

Keunggulan BSC dalam hal ini diakui oleh para peneliti bahwa BSC menyajikan satu kerangka logis yang terstruktur yang mengakibatkan setiap devisi perusahaan dapat berinisiasi aktif untuk menentukan kinerja. Akan tetapi penentuan kinerja ini bagaimanapun harus diikuti dengan menentukan strategi yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Berkaitan dengan hal ini, Kaplan dalam wawancaranya dengan Lagace (2008) menjelaskan tantangan penerapan strategi menjadi operasional: 1) banyak perusahaan menerapkan berbagai program seperti TQM, Six Sigma, dan lain-lain, tetapi gagal mencatat bagaimana perbaikan organisasi terjadi bersamaan dengan program demikian; 2) perencanaan anggaran dan pembiayaan lepas dari strategi, maka apa yang diperoleh senantiasa tidak menjadi ukuran yang dapat diterima.

3.1. Strategy Map

Ketika Kaplan dan Norton menggagas konsep yang diajukan, kedua penulis ini tidak henti-hentinya memperjelas kaitan dari masing-masing perspektif dalam menopang pencapaian tujuan. Oleh karena itu perspektif yang disampaikan adalah menjadi bagian dari strategi. Patut dicatat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sandy Richardson dalam Hendricks yang menjelaskan bahwa:

1) Memahami bahwa BSC adalah bagian dari proses yang dimulai dengan strategi. Karena itu disarankan untuk menyertakan BSC sejak strategi dimulai, dengan penegasan strategi sejak dari awal.

2) Keterlibatan manajemen senior sangat kritis, karena dukungan internal sangat dibutuhkan guna menentukan keberhasilan organisasi menerapkan BSC.

Dalam bukunya, Kaplan dan Norton (2005) memperjelas lagi bahwa masing-masing perspektif haruslah sedemikian rupa terkait satu sama lain sehingga realisasinya merupakan satu rangkaian. Bila rangkaian ini dapat dijelaskan maka akan diperoleh satu peta strategi yang secara jelas menunjukkan bagaimana visi dan misi diterjemahkan menjadi bagian-bagian yang operasional yaitu sasaran dan strategi untuk mencapai sasaran tersebut. Bila hal ini tersusun maka apa yang disampaikan Kaplan bahwa BSC melulu bukanlah alat ukur kinerja akan tetapi menjadi bagian dari strategi karena memberikanumpan balik dan koreksi atas hasil yang diperoleh.

3.2. Penentuan Scorecard

Tidak mudah untuk menyepakati ukuran apa yang dijadikan keberhasilan satu perusahaan, karena didalamnya selalu ada unsur konflik antar bagian. Adapun 4 perspektif yang dikemukakan oleh Kaplan sesungguhnya haruslah diikuti pemahaman mendalam saat perencanaan strategis dimulai. Pemahaman ini harus dimulai dari identifikasi yang sesuai sehingga dapat ditentukan apa yang menjadi tujuan dan kegiatan serta ukuran yang akan diterapkan. Dalam hal ini adapun konsep pengukuran kinerja menjadi bermanfaat, karena penyusun strategi akan dapat menentukan.

Hendrick (2004) menunjukkan kendala penerapan BSC (1) sedikit pemeriksaan tentang faktor yang berkaitan dengan pengadopsian BSC, dan (2) masih dibutuhkan keyakinan bahwa dengan pengadopsian BSC akan berdampak kepada kinerja keuangan. Selanjutnya melaporkan bahwa kunci daripada penerapan BSC adalah :

1) Keterlibatan kepemimpinan senior

2) Mengartikulasi visi dan strategi perusahaan

3) Mengidentifikasi kategori kinerja yang menghubungkan visi dan strategi terhadap hasil

4) Terjemahkan papan nilai kepada tim, devisi, dan tingkatan fungsi

5) Kembangkan pengukuran yang efektif dan standar yang berarti (jangka pendek dan panjang, memimpin, dan tertinggal)

6) Kenakan penganggaran yang tepat, Teknologi Informasi, Komunikasi , dan sistem imbal jasa

7) Melihat BSC sebagai proses kontinius, membutuhkan perbaikan, penilaian ulang, dan pemutakhiran, dan ;

8) Percaya bahwa BSC sebagai fasilitator perubahan kultur dan organisasi.


Komitmen pimpinan puncak tetap saja menjadi kata kunci, karena hanya dengan adanya komitmen itulah organisasi dapat bergerak. Satu hal yang dapat dilakukan oleh pihak manajemen adalah mengakomodasi hal-hal yang umum dalam satu industri, akan tetapi bagaimanapun satu perusahaan harus dapat mengakomodasi hal yang menurut mereka spesifik bagi industri ataupun perusahaan dimana mereka berada. Dalam kaitan ini harap diingat akan 4 perspektif yang dikemukakan oleh Kaplan, perspektif demikian tidak serta merta memposisikan perusahaan dapat mengadopsinya. Penentuan sasaran dan target bukanlah pekerjaan yang mudah karena hal ini harus termuat dalam satu perencanaan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya penetapan demikian haruslah disertai oleh Alligment. Alligment adalah adanya pengalokasikan sumberdaya yang jelas terhadap upaya pencapaian tujuan. Tanpa adanya pengalokasian sumberdaya maka tidak akan ada jaminan bahwa organisasi akan mencapai manfaat dari BSC yang telah disusun.

Measured (ukuran) menjadi sangat penting dalam penerapan strategi, karena satu perusahaan tidak akan dapat mengelola yang dapat diukur.

3.3. Implementasi Scorecard

Implementasi BSC pada awalnya merupakan papan nilai yang dinilai seimbang antar berbagai perspektif untuk menentukan keberhasilan satu organisasi ataupun perusahaan. Permasalahan ini menjadi krusial bukan saja karena ini menyangkut banyak hal, akan tetapi karena dengan adanya ukuran yang seimbang diharapkan bahwa capaian dan kinerja satu organisasi dapat berkelanjutan (sustainable). Apa yang harus dicatat dari berbagai publikasi Kaplan dan Norton bahwa untuk mengimplementasikan BSC sekalipun dibutuhkan strategi. Sehingga, dapat diketahui bahwa dalam BSC sangat dinyatakan bahwa rancangan strategi implementasi mutlak dilaksanakan. Hal ini merupakan koreksi terhadap keleamahan strategi pada umumnya.

2. Kesimpulan

Dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan berbagai kesimpulan penting berikut.

4.1. Komitmen menyeluruh. Komitmen dimulai dari manajemen puncak. Rumusan visi dan misi adalah mutlak bagi satu perusahaan, berkaitan dengan itu rumusan visi haruslah diterjemahkan ke dalam bentuk 4 perspektif yang operasional pada satu perusahaan. Dengan demikian, diterjemahkan pula sasaran dari masing-masing perspektif. Perusahaan yang berbeda tentu mempunyai sasaran yang berbeda, walau harus dicatat mekanismenya tetap.

4.2. Penentuan scorecard satu bisnis bagaimanapun membutuhkan kesepakatan internal dan eksternal. Sebagaimana kesepakatan internal maknanya adalah bahwa perusahaan harus mempunyai komitmen untuk merealisasikannya, sebagai kesepakatan eksternal dimaksudkan untuk mengakomodasi tuntutan pemangku kepentingan.

4.3. Pengalaman berbagai perusahaan yang menerapkan BSC menunjukkan bahwa BSC bukan saja ukuran akan kinerja akan tetapi adalah bagian dari strategi untuk mencapai tujuan.

Daftar Bacaan

Anonim, 2005. Program Penilaian Kinerja Perusahaan, Kementrian Lingkungan Hidup.

Ananoni, 2005. Implementing the Balanced Scorecard, cheklist, Chartered Management Institute.

De Waal. A.A. 2003. The future of the Balanced Scorecard an interview with Professor Dr. Robert, S. Kaplan, Measuring Business Excellece, pp. 30-35.

Hendricks, K. et.all. 2004. The Balance Scorecard: To adopt or not to adopt, Invey Business Journal, www.iveybusinessjournal.com

Johanson, U. et.al. 2006. Balancing dilemmas of the balanced scorecard, Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol. 19 No. 6, 2006, pp. 842-857

Kaplan, R.S., dan Norton, David P. 1992. The Balance Scorecard Measures That Drive Perfomance, Harvard Business Review, January-February 1992, pp. 71-79.

, 1996. Linking the Balanced Scorecard to Strategy, California Management Review, Vol. 39. No 1. pp. 53-79.

, 2004. Alignment: Using the Balanced Scorecard to Create Corporate Synergies. Harvard Business School.

, 2006. Strategy Maps, Converting Intangible Assets Into Tangible Outcomes. Harvard Business School.

, 2007. Using the Balanced Scorecard as a Strategic Management, Harvard Business Review, July –August , pp. 150 -161.

, 2009. Successful Applications of the Scorecard in Higher Education, Heldref Publications, pp. 275 – 281.

Kaplan, R.S. 1993. Implementing the Balanced Scorecard at FMC Corporation, an Interview with Larry D. Brady, Harvard Business Review, September – October 1993, pp. 144 – 147.

Karathonous, D. and P. Karathonous 2005. Applying the Balance Socorecard to Education, J. Edu. for Business, Heldref Pub. Vol. 80: 222 p.

Kocakulah, M.C dan Austill, A.D. 2007. Balanced Scorecard Application inovasi Health Care Industry: A Case Study, Journal of Health Care Finance: pp: 72-99.

O. Rozman, 2008. Reflective Practice, Enhancing the effectiveness the balanced scorecard with scenario planning, International Journal of Productivity and Performance Management, Vol. 57 No. 3, 2008, pp. 259-266

Pandey, M. I. 2005. Balaced Scorecard Myth and Reality, The journal for Decision Makers, VILKALPA, Vol. 30 No 1. January – Marech, pp. 51 – 66

Sinha, A., 2006. Balanced Scorecard: A Strategic Management Tool. Commerce, Vidyasagar University J

Zimmerman, J.. 2008. Mastering The Balance Scorecard, Fundraising Success, February 2008, ABI/INFORM Trade &Industry, pp. 34 -37.

TUGAS INDIVIDU

Balance Scorecard (BSC) demikian poluler setelah dipublikasikan oleh Kaplan dan Norton (1992). Dalam kaitan ini, jawablah pertanyaan berikut ini:

1) Jelaskan pendapat anda apakah masalah pengukurankinerja adalah permasalahan strategis.

2) Dengan memahami konsep BSC apa yang membedakannya dengan konsep lain dalam pengukuran kinerja.

3) Dalam pelayanan organisasi pemerintahan apa kendala dan kemungkinan menggunakan pendekatan BSC.

4) Apa yang sulit dalam penggunaan BSC?


please visit to this